Langsung ke konten utama

Postingan

Memberangus Kebebasan Akademis

Lagi-lagi peristiwa memalukan terjadi di kampus UIN Suska Riau. Sehari jelang pelaksanaan kuliah umum bertajuk “Meracik Fiqh Nusantara Mewujudkan Masyarakat Rahmatan Lil Alamin” dengan pembicara Prof Dr KH Nadirsyah Hosen, di media sosial heboh rencana penolakan oleh sekelompok mahasiswa. Acara yang sedianya digelar di aula Gedung Rektorat pada 17 Mei, terpaksa dialihkan ke Hotel Grand Suka Pekanbaru lantaran mendapat penolakan dari kelompok mahasiswa tadi. Atas kejadian ini, Rektor UIN Suska Prof Dr Munzir Hitami, yang hadir di acara itu meminta maaf secara lisan dalam sambutannya dan dilanjutkan secara tertulis kepada pembicara yang merupakan tokoh Nahdlatul Ulama dan dosen senior Monash University, Australia itu. Rektor sangat menyayangkan penolakan oleh BEM UIN Suska sebab hal itu jelas-jelas telah melukai kebebasan mimbar akademik yang selama ini kita panggul. Mereka yang menolak, menganggap pemikiran Gus Nadir, panggilan akrab Nadirsyah Hosen, berbahaya sehingga dikhawatirkan
Postingan terbaru

Melongok Perkampungan Pemulung di TPA Telagapunggur Batam

Foto: Imam Wachyudi/Batam Pos Mengais Rezeki dari Sampah, Sekolahkan Anak ke Universitas B atam yang didesain sebagai kota industri, galangan kapal, pariwisata dan perdagangan menarik warga Indonesia dari berbagai penjuru mengadu nasib. Sebagian perantau yang kurang dibekali keterampilan kalah saing lalu bertahan hidup mengais rezeki dari tumpukan pembuangan sampah. Oleh Rico Mardianto Bulir-bulir keringat terus mengalir dari wajah Indrayani. Matahari bersinar terik di atas ubun-ubun wanita 47 tahun itu, Senin (1/2). Ditambah lagi hawa panas dari sampah yang terbakar di ujung barat tempat pengelolaan akhir (TPA) sampah Telagapunggur. Kepulan asap tebal mengandung racun dari sampah yang terbakar menyebar ke setiap penjuru. Namun Indrayani tak mempedulikannya. Sesekali ia menyeka peluh di wajah dengan punggung tangannya. Bau busuk yang yang menguar dari sampah di sekelilingnya seolah tak terendus lagi olehnya karena sudah menjadi ‘santapan hidung’ sehari-hariny

Profil Penyair Ramon Damora

Oleh Rico Mardianto Bagi kalangan wartawan dan pegiat sastra di Kepulauan Riau dan Riau, nama Ramon Damora sudah tak asing lagi. Dia adalah wartawan senior dan Ketua PWI Kepulauan Riau dua periode. Dia juga dikenal sebagai penyair yang produktif menulis. Sajak-sajaknya sudah sering menghiasi berbagai media.  Ditemui di suatu sore akhir Januari  2016,  Ramon dan rekan-rekannya sesama wartawan sedang duduk santai sembari nyeruput kopi di sebuah kantin di pojok Gedung Graha Pena Batam lantai tiga. Hari itu dia mengenakan setelan kemeja semi jins dan celana jins biru. Kepada saya , Ramon bercerita masa-masa aktif sebagai jurnalis pers mahasiswa di  Pers Mahasiswa  Gagasan dan seniman di sanggar Latah Tuah IAIN Susqa. Ramon kuliah di Jurusan Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah. Sebetulnya sang ayah menginginkan Ramon mengikuti jejaknya di dunia militer . Namun, Ramon tak berminat sama sekali jadi tentara dan lebih memilih kuliah di IAIN Susqa Pekanbaru. Di kampus inilah Ram

Kisah Nuraini, 31 Tahun Menjadi Tenaga Honorer

Foto: Rezza/Batam Pos Sepuluh Kali Ganti Lurah Tak Kunjung Jadi PNS Statusnya sebagai tenaga honorer kategori K1 sebenarnya membuka peluang lebar bagi Nuraini, 57, untuk diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Namun fakta dan kenyataan di lapangan memaksa dirinya harus mengubur dalam-dalam impiannya itu. Oleh Rico Mardianto Nuraini mengacungkan satu per satu jemarinya seraya bergumam. Sambil sesekali mengerutkan keningnya, dia menyebut nama orang-orang yang pernah menjadi lurah Tanjunguma, Kecamatan Lubukbaja, Kota Batam. ”Sudah sepuluh kali lurah berganti sejak saya kerja di sini,” ucapnya, Kamis (3/3/2016). Lalu tangannya kembali bergelut dengan setumpuk kertas di meja kerjanya. Posisinya di seksi pelayanan umum membuat Nuraini banyak berkutat dengan banyak pekerjaan yang menyita waktu dan tenaganya. ”Sejak awal kerja sampai sekarang saya di kantor ini,” ujar Ani, sapaan akrabnya. Nuraini merantau ke Batam awal Februari 1984. Awalnya ia tinggal di rumah kakakny

Mengenal Dee Moriarty, Aktivis Habitat for Humanity

Dambakan Batam Bebas Permukiman Kumuh Banyaknya warga Batam yang tinggal di rumah tak layak huni membuat Dee Moriarty prihatin. Bersama komunitas Women Build, dia bertekad membangun rumah untuk warga miskin di kota ini. Semuanya diberikan secara cuma-cuma. Oleh Rico Mardianto Suasana atrium Mega Mall Batamcenter terlihat cukup ramai dipadati pengunjung, akhir pekan lalu. Siang itu, para pengunjung memadati stan-stan bazar yang digelar oleh Dee Moriarty bersama rekan-rekannya yang tergabung dalam Komunitas Women Build. Alunan musik yang menghentak menambah semarak suasana. Ada 17 stan yang dibuka dalam bazar itu. Setiap stan menawarkan dagangan yang beragam. Mulai dari aksesoris, busana, makanan ringan, dan sebagainya. Sebagian besar anggota Women Build itu adalah wanita bule yang dirangkul Dee. Komunitas ini merupakan bentuk solidaritas sesama wanita ekspatriat untuk kegiatan sosial. ”Itu kue dan aksesoris buatan mereka sendiri. Kain batik itu juga hasil kegiatan mereka

Mengenal A Yong, Rekrut Anak Jalanan jadi Pemain Barongsai

Pernah merasakan keras dan pahitnya hidup sebagai anak jalanan membuat A yong banyak berempati. Pria keturunan Tionghoa ini mencoba menyelamatkan masa depan anak jalanan di Batam dengan dilatih kesenian Tionghoa di sanggar miliknya. Umumnya merupakan warga non-tionghoa. Oleh Rico Mardianto A yong tampak serius memberikan arahan para pemain barongsai di salah satu mal di Batam, Kamis (11/2) lalu. Meski mereka sudah lama dilatih, A Yong tetap ingin memastikan mereka tampil dengan sempurna, siang itu. Tepuk tangan penonton bergemuruh seketika. Tanda penampilan para pemain barongsai itu usai. Dan tentunya juga pertanda mereka puas dengan penampilan anak didik A Yong dari Sanggar Perkumpulan Hoaliang Batam tersebut. Namun pemandangan yang sedikit berbeda luput dari perhatian penonton. Saat para pemain barongsai itu membuka kostumnya, ternyata sebagian besar dari pemain barongsai itu merupakan warga non-tionghoa. Bukan keturunan Tionghoa, seperti kebanyakan pemain barongsai di sanggar

Menyesali Kelangkaan Porapora

Oleh Rico Mardianto Siska Nainggolan tak pernah menyangka, ikan porapora yang dulu pernah menjadi sumber mata pencarian utama keluarganya kini nyaris punah. Tak ada lagi hasil tangkapan porapora yang mencapai 50 kilogram lebih dalam sehari, tak ada lagi penghasilan mencapai dua juta lima ratus ribu rupiah per minggu. “Entah kemana lagi cari ikan porapora, enggak tahu,” ucapnya putus harapan. Istilah klasik 'penyesalan selalu datang terlambat' terjadi juga pada warga Ajibata, Toba Samosir, Sumatra Utara. Ajibata Berjarak 60 kilometer dari Agibata, ibu kota Toba Samosir. Mayoritas penduduk Ajibata bekerja sebagai nelayan. Siska adalah satu dari ratusan warga Ajibata yang kini menyesali kelangkaan porapora. Penyesalan yang datang dari sikap naif warga--menangkap ikan membabi buta terus menerus--diperparah dengan cara penangkapan dengan doton, pukat harimau dan net halus mempercepat laju kepunahan porapora.  “Ya menyesallah,” ketus ibu delapan anak ini. Donna Nainggolan ber